Jam dindingpun terus berdetak, waktupun terus bergulir, bumipun terus berputar, sama halnya dengan denyut jantungku yang semakin berirama kencang. Sang dewa siang mulai tersenyum dan menyapa sang dewa malam yang mulai menghilang. ”Vel ? Kamu tau kenapa ibu memberi nama KAVELLA untukmu ?” ucap seorang laki-laki yang berusia 1 tahun lebih tua dariku. 'Kavella ? Kavella itu sebuah nama bintang yang terang di angkasa, ayah dan ibu ingin aku menjadi pribadi seperti bintang itu. Memiliki ketegaran dan kemandirian walaupun letaknya sangat jauh, ia dapat memancarkan cahaya tanpa bantuan dari sang penguasa malam' jawabku dengan senyuman sambil memperhatikan lautan yang membentang. Dio adalah anak sebatang kara, sebelas tahun yang lalu ibu ku menemukan sebuah peti di pesisir pantai yang berisikan seorang bayi laki-laki tanpa busana dan hanya diselimuti sehelai kain tipis. Dalam peti itu juga terdapat secarik kertas usang yang dituliskan sebuah pesan "Siapa pun yang menemukan bayiku, aku sangat berterima kasih. Tolong lah jaga dan rawat bayi ini, Anak ini bernama Dio Arventus. Terima kasih"
Tidak ada nama dari si pembuat surat, ibu ku sangat merasa kasihan pada bayi itu dan beliau pun akhirnya merawat dan membesarkan Dio seorang diri. Ibu ku adalah seorang janda beranak satu, ayah ku meninggal dunia saat berlayar di lautan, kapal yang ia tumpangi terputar oleh ombak sampai terbalik dan seluruh penumpang tidak ada yang terselamatkan. Oleh karena itu aku sangat menyanyangi ibu, begitu pun dengan Dio karena ia sudah menganggap ku dan ibu seperti keluarganya. Aku pulang melewati pintu belakang dan mendapati sosok ibu ku yang sedang menyiapkan makan siang. "Anak ibu sudah pulang rupanya, mau minum air kelapa nak ? Sepertinya kau lelah sekali" sapa ibu ku saat aku tidak ingin memalingkan wajahku padanya. "Hmm.. Terima kasih, tapi aku tidak haus, bu" aku terus berjalan menuju kamar dan menolak tawarannya. Aku menjatuhkan tubuh kecilku pada ranjang lembut dan besar pada kamarku, terdengar nyanyian yang membuatku terbuai. Aku terbuai dalam suasana sendu, aku menikmati setiap bait demi bait, aku meresapi alunan nada yang indah, aku terhanyut oleh dalamnya makna. Buliran bening itu pun terjatuh dari mataku, dan tanpa tersadar aku sangat mengkhayati alunan lagu tersebut. "Aku sangat mencintaimu Ayah, aku sangat merindukanmu..." ucapku pelan dan jauh didalam hati kecilku. Sampai akhirnya aku tertidur pulas. "Vella... Bangun nak, sudah sore sayang..." Langit pun berubah warna menjadi oranye dan matahari mulai terbenam. Aku masih tertidur pulas dalam kamarku, teriakkan ibuku pun tak dapat membangunkan ku.
***
Sesampainya di ruang makan, aroma pancake yang khas membuatku semangat dan bergairah.
"Ini teh nya Vella.." ujar ibu dengan membawakan secangkir teh. Aku berjalan menuju meja makan dan duduk disamping Dio, ku perhatikan Dio yang sedang asyik memainkan kulit kerangnya. Kami tinggal pada sebuah pulau terpencil nan indah, luasnya laut yang membentang dunia dan putihnya pasir yang bersih. Tak terasa hari mulai gelap, matahari pun mulai terbenam. Langit sangat indah, dan segala yang aku punya akan selalu aku syukuri. Waktu menunjukkan pukul 7 malam, dan kami semua berkumpul di ruang makan untuk makan malam bersama. Menu hari ini sangat istimewa karena hari ini adalah ulang tahun bibiku yang tinggal di kota. Kami semua telah berkumpul di ruang makan, alat-alat makan sudah tertata rapi dan makanan pun sudah terlihat cantik oleh hiasan yang mengelilinginya. "Ibu dimana bibi ?" Tanyaku, "Sebentar lagi sayang.." Ucap ibu yang sedang mengambil puding dan fla di dapur. "Hai anak-anak, hai kakakku sayang" Akhirnya bibiku datang dan kami bisa memulai acara keluargaku. Kami semua pun member ucapan kepada bibi Rulis "Terima kasih keluargaku, aku sangat menyayangi kalian" Ucap bibi ku dengan mata yang berkaca-kaca saat menatap kami semua. Kami semua pun berdoa bersama, meminta keselamatan dan kesehatan pada Tuhan Yang Maha Esa. "Ayo cepat, aku sudah tidak sabar mencicipi masakan kakakku tersayang" Seru bibiku, ia mempunyai badan besar dan memiliki nafsu makan yang besar. Kami pun tertawa bersama dan bercerita-cerita, aku melihat Ibu dan Bibiku tertawa bahagia dengan hati yang tulus tanpa ingatan masa lalu yang merenggut orang tua dan keluarga. Aku melihat mereka sangat bahagia malam ini. Butiran bening itu tak sengaja terjatuh saat aku tersenyum memandang mereka berdua. "Tunggu sebentar ya aku ingin ke kamar" Ucapku yang memotong canda tawa mereka. aku berlari ke kamar untuk mengambil sebuah hadiah yang telah ku persiapkan sejak lama.
"Ini teh nya Vella.." ujar ibu dengan membawakan secangkir teh. Aku berjalan menuju meja makan dan duduk disamping Dio, ku perhatikan Dio yang sedang asyik memainkan kulit kerangnya. Kami tinggal pada sebuah pulau terpencil nan indah, luasnya laut yang membentang dunia dan putihnya pasir yang bersih. Tak terasa hari mulai gelap, matahari pun mulai terbenam. Langit sangat indah, dan segala yang aku punya akan selalu aku syukuri. Waktu menunjukkan pukul 7 malam, dan kami semua berkumpul di ruang makan untuk makan malam bersama. Menu hari ini sangat istimewa karena hari ini adalah ulang tahun bibiku yang tinggal di kota. Kami semua telah berkumpul di ruang makan, alat-alat makan sudah tertata rapi dan makanan pun sudah terlihat cantik oleh hiasan yang mengelilinginya. "Ibu dimana bibi ?" Tanyaku, "Sebentar lagi sayang.." Ucap ibu yang sedang mengambil puding dan fla di dapur. "Hai anak-anak, hai kakakku sayang" Akhirnya bibiku datang dan kami bisa memulai acara keluargaku. Kami semua pun member ucapan kepada bibi Rulis "Terima kasih keluargaku, aku sangat menyayangi kalian" Ucap bibi ku dengan mata yang berkaca-kaca saat menatap kami semua. Kami semua pun berdoa bersama, meminta keselamatan dan kesehatan pada Tuhan Yang Maha Esa. "Ayo cepat, aku sudah tidak sabar mencicipi masakan kakakku tersayang" Seru bibiku, ia mempunyai badan besar dan memiliki nafsu makan yang besar. Kami pun tertawa bersama dan bercerita-cerita, aku melihat Ibu dan Bibiku tertawa bahagia dengan hati yang tulus tanpa ingatan masa lalu yang merenggut orang tua dan keluarga. Aku melihat mereka sangat bahagia malam ini. Butiran bening itu tak sengaja terjatuh saat aku tersenyum memandang mereka berdua. "Tunggu sebentar ya aku ingin ke kamar" Ucapku yang memotong canda tawa mereka. aku berlari ke kamar untuk mengambil sebuah hadiah yang telah ku persiapkan sejak lama.
***
"Bibi Rulisa, ini untukmu" Aku memberikan sebuah hadiah yang ku bungkus dengan kain berwarna merah. "Apa ini ? Terima kasih sayang" Bibiku membuka kain itu perlahan, "Waaah ini bagus sekali" teriak bibiku saat melihat isi hadiah itu. aku tersenyum melihat bibiku yang senang menerima hadiahku. Suasana semakin hangat dan malam pun semakin larut, bulan pun ikut tersenyum dan menari saat kami sekeluarga menari bersama dan berbagi kebahagiaan.
"Bibi Rulisa, ini untukmu" Aku memberikan sebuah hadiah yang ku bungkus dengan kain berwarna merah. "Apa ini ? Terima kasih sayang" Bibiku membuka kain itu perlahan, "Waaah ini bagus sekali" teriak bibiku saat melihat isi hadiah itu. aku tersenyum melihat bibiku yang senang menerima hadiahku. Suasana semakin hangat dan malam pun semakin larut, bulan pun ikut tersenyum dan menari saat kami sekeluarga menari bersama dan berbagi kebahagiaan.
Keesokan paginya, matahari sudah siap pada haluannya. Ibuku sedang membereskan sisa-sisa pesta kami tadi malam, Dio juga masih tertidur pulas dikamarnya. "Ibu, mau aku bantu ?" Aku menawarkan bantuan pada ibu yang sangat sibuk membereskannya sendiri. "Baiklah sayang, tolong kamu buang ya sisa-sisa makanan ini" Ujar Ibu, "Baiklah" aku keluar pintu belakang dan membuang sisa-sisa makan pada tempat sampah. "Raflenia cepat bersembunyi, bawa pergi anak-anakmu. Cepaaat !!" Ucap Paman Nuril yang tinggal hanya beberapa rumah jaraknya dari rumahku. "Kavella, cepat lah kau pergi !" Ucap paman Nuril padaku, yang berlari menuju lantai atas untuk membangunkan Dio. Dio pergi bersama paman Nuril, aku pergi bersembunyi bersama Ibu. "Kavella, ayo cepat bersembunyi !!" Teriak Ibu. Keadaan desa kami sudah separuh mati, para perampok itu melemparkan puluhan bom pada pulau kami, mereka datang dengan pasukan yang sangat banyak dan membawa berbagai macam senjata dan bom. Aku dan Ibu tidak memiliki tujuan untuk bersembunyi, kami terus berlari mengikuti para warga desa yang juga ingin bersembunyi. Suara ledakan dimana-dimana, dan para korban sudah mulai berjatuhan, sebentar lagi para perampok itu merapat di dermaga pulau kami. "Ibu dimana Dio ??" teriakku, aku sangat mengkhawatirkan keadaannya, aku tidak ingin ia celaka, aku menyayanginya. "Terus lah berlari nak, Dio aman bersama Paman Nuril mereka pergi ke tempat persembunyian laki-laki" ucap Ibu agar aku yakin kepadanya. Kami semua bersembunyi didalam goa di kaki gunung yang dilingkari oleh lautan yang luas. Kami semua memasuki Goa itu dan bersembunyi didalamnya, aku tidak bisa membiarkan semua ini, aku ingin menghentikan semua ini. Para Ibu menagis sesegukkan karena memikirkan nasib suami dan anak laki-laki mereka, aku dan ibu saling memeluk dan memikirkan keadaan Dio. Para Perompak itu telah merapatkan kapal-kapal mereka didermaga pulau kami, dan para pria dewasa telah membuat kuda-kuda untuk melawan perampok itu. Dio berada disana turut membantu mempertahankan desa kami. "Apa kabar kalian semua ? Rupanya kalian sudah siap dengan kematian ya !" ucap salah satu perampok yang meremehkan warga kami. Dahulu kala, ada ratusan perampok yang datang ke pulau kami. Mereka mencuri harta penduduk dan memperkosa para gadis dan wanita dewasa, para ayah dibunuh seperti seekor binatang dengan cara dipenggal, anak laki-laki diculik dan dibuang entah dimana mereka membuang anak laki-laki di desa kami. Sungguh sangat ironis dan kejam mereka tidak berprikemanusiaan dan tidak memiliki hati nurani, sejumlah gedung sekolah yang berdiri dihancurkan dan para guru ditembak mati, mereka ingin agar penduduk desa kami mengikuti mereka dengan menjadi budak. Aku sangat sedih dan kecewa karena aku tidak pernah mengenal dunia pendidikan yang sesungguhnya, aku hanya di ajarkan membaca, menulis, dan berhitung oleh Ibuku. Saat mereka menyerang daerah rumahku, Ibuku bersembunyi dibawah rumah kami kebetulan kami memiliki ruang bawah tanah, ayahku sedang berlayar di laut Ibuku mendekap aku dalam pelukannya karena tidak ingin kehilangan anak satu-satunya, mungkin jiwanya sangat terguncang pada saat itu. Para warga desa kami memang tidak memiliki senjata mahal dan hebat, mereka hanya mengandalkan senjata yang ada saja. Mereka rela mati demi demi mempertahankan dan memperjuangkan desa kami. "Lempar bomnya !" Sang kapten perampok itu memberi aba-aba dan memerintah anak buahnya untuk melemparkan bom, bom itu membuat lubang besar di pesisir pantai, dan membuat beberapa jiwa melayang. "Kau adalah perampok yang sangat memalukan Marcus !! Kau tidak berperasaan ! Kau tidak memiliki hati !" teriak kepala desa kami yang sudah kehilangan tangan kanannya saat kejadian sebelumnya. "Apa dayamu Gielbert ? Kau sudah cacat, kau hanya pantas untuk mati !" sahut Marcus yang menempati posisi kapten itu, ia menertawakan para warga kami, ia melecehkan dan menganggap kami semua lemah dan tak berdaya. Perperangan terus berjalan, para perampok itu melemparkan bom dan meriam ke semua arah desa kami dan menghanguskan rumah-rumah warga, para warga berkelahi dengan menggunakan celurit dan pisau lainnya untuk menghabisi para anak buah perampok itu, mereka saling melempar pisau dan tertusuk satu sama lain. Bau cairan merah pekat itu tercium dimana-mana, para warga yang turut berjuang telah gugur hanya tersisa sebagian yang bertahan keadaan desapun sudah tidak dipenuhi banyak orang hanya saja banyak mayat yang tergeletak dimana-mana. Aku berlari keluar dari dalam goa untuk membela desa kami, aku tersadar bahwa aku hanyalah seorang anak kecil yang lemah. "Vella jangan keluar !" Teriak ibuku. "Tidaak !! Aku harus menghentikan semua ini bu ! Maafkan aku" Aku memeluk ibu mungkin untuk yang terakhir kalinya. Ibu memeluk tubuh kecilku dengan air mata yang mengucur deras, ia tak sanggup jika harus kehilangan harta paling berharganya. Ibu ku terus memelukku, ia seperti tak ingin melepaskanku. "Ibu sudahlah, percaya padaku aku akan baik-baik saja" aku berpamitan padanya, aku mengecup keningnya, aku mencium tangan halusnya, aku memeluk tubuhnya, aku tidak ingin berpisah padanya, Tuhan tolong lah pertemukan kami kembali. Ibuku melepaskan pelukannya dengan perasaan yang sangat berat, aku berlari menuju pesisir pantai dan meninggal ibu sendiri didalam goa bersama para wanita dan anak-anak.
***
Sesampainya di pesisir banyak sekali kilatan api yang melayang di udara, banyak jiwa yang melayang dan tergeletak, tapi diantara mereka tak ada satupun mayat Dio. "Dimana Dio ? Apa ia sudah mati ? Tapi tidak ada mayatnya ditempat ini" Aku terus mencari-cari Dio dan mengarahkan pandanganku ke segala arah agar dapat menemukan Dio. "Hei ada gadis kecil rupanya, apa yang sedang kau lakukan disini ? Mencari boneka kesayanganmu ? Lalu menangis dan mengadu pada Ibumu ?" aku mendengar suara kapten itu yang meledekku saat ia mendapati tubuhku dalam padangannya. "Dasar kau pengecut ! Kau tidak memiliki hati ! Kau jahat ! Kau jahat ! Kau jahat !" aku berteriak dan menghinanya. "Cepat bawa anak itu ! Bunuh dia !" kapten perampok memerintah anak buahnya untuk membawaku kedalam kapal mereka. "Kau jahat ! Kau jahat ! Turunkan aku ! Turunkan aku !" aku mencoba melepaskan diri dari genggaman anak buah itu namun apa daya aku tidak bisa melarikan diri. Ia membawaku ke dalam kapal dan mengikat tangan dan kakiku, banyak sekali anak-anak ditempat ini mereka hanya menunduk ketakutan dan tidak berani melawan, mulut mereka terdekap dengan lakban yang membuat mereka tidak bisa berbicara "Hei manis, berani sekali ya kau menghinaku didepan anak buah dan para budak itu !" kapten itu memegang pipiku dan sangat menyakitkan sekali, ia memandangku dengan mata besarnya. "Lepaskan gadis itu !" Teriak seorang pria separuh baya yang ingin membelaku. "Berani kau padaku ?!" Sahut sang kapten. "Gadis itu masih kecil, lepaskan dia !" pria separuh baya itu terus berusaha agar dapat menyelamatkan ku walaupun kaki dan tangannya terpasung pada sebuah kayu besar. Aku menatap matanya, namun ada sesuatu yang aneh pada hatiku, aku merasa memiliki ikatan yang sangat kuat pada pria itu. "Habisi pria ini !" perintah kapten pada salah satu anak buahnya untuk membunuh pria separuh baya itu. "Tidaaaak !! Jangaaaaan !!" aku berteriak dan menangis sekeras mungkin agar pria itu tidak dibunuh. "Kau kenal dia gadis kecil ?" tanya anak buah yang ingin membunuh pria separuh baya. "Tidak ! Tapi aku mohon jangan sakiti dia !!" aku berteriak dan memohon, terus memohon. "Baiklah, jangan bunuh dia" Ucap kapten kepada anak buahnya. "Terima kasih kapten kau memang baik, kau ini sebenarnya pria yang baik, tapi mengapa kau menjadi orang jahat ? Tidakkah kau tahu bagaimana perasaanmu jika seandainya istri dan anakmu berada disituasi seperti ini ?" ucapku lembut dan membujuk kapten perampok tersebut. "Jangan dengarkan dia bos !!" ucap anak buah yang geram saat mendengar bujukanku pada kaptennya. "Diam lah !" bentak sang kapten. Namun anak buahnya tidak terima oleh perlakuan bosnya yang tidak percaya olehnya, ia pun mengayunkan pedang panjang dan berkilau itu ke arahku. "Tidaaaakkk" Aku berteriak sekeras mungkin, semua mata tertuju padaku. "Jangaaaan !! Aaaaa" suara anak laki-laki yang keras dan melemah, ia pun terjatuh tak berdaya karena tertusuk pedang anak buah itu. Aku pun membalikkan badan anak laki-laki itu "Dioooooooooooo.. Dioooooooooooo" aku berteriak dan tidak percaya bahwa anak laki-laki yang tertusuk itu adalah Dio, aku tidak dapat menahan air mata, aku memeluknya dan menangisinya tapi tubuh itu tidak lagi bergerak. "Dia anakku ! Kau membunuhnya " sang kapten tak sengaja melihat tanda lahir Dio yang berada di belakang telinga, ia menyadari bahwa Dio adalah anaknya. "Apa maksudmu ?" aku bertanya dan benar-benar kaget lebih tepatnya terluka. "Aku kehilangan anak laki-lakiku sebelas tahun yang lalu dan ia memiliki tanda seperti anak ini" Kapten itu mulai melemah dan memeluk erat tubuh anaknya yang sudah terbujur kaku. "Kau ??!!" Kapten itu menatap anak buahnya dan menusuk tubuh anak buahnya sampai terjatuh dan tak bernyawa. Aku pun tak sadarkan diri. "Bangunlah nak" ucap sang kapten yang mencoba membangunkanku.
Sesampainya di pesisir banyak sekali kilatan api yang melayang di udara, banyak jiwa yang melayang dan tergeletak, tapi diantara mereka tak ada satupun mayat Dio. "Dimana Dio ? Apa ia sudah mati ? Tapi tidak ada mayatnya ditempat ini" Aku terus mencari-cari Dio dan mengarahkan pandanganku ke segala arah agar dapat menemukan Dio. "Hei ada gadis kecil rupanya, apa yang sedang kau lakukan disini ? Mencari boneka kesayanganmu ? Lalu menangis dan mengadu pada Ibumu ?" aku mendengar suara kapten itu yang meledekku saat ia mendapati tubuhku dalam padangannya. "Dasar kau pengecut ! Kau tidak memiliki hati ! Kau jahat ! Kau jahat ! Kau jahat !" aku berteriak dan menghinanya. "Cepat bawa anak itu ! Bunuh dia !" kapten perampok memerintah anak buahnya untuk membawaku kedalam kapal mereka. "Kau jahat ! Kau jahat ! Turunkan aku ! Turunkan aku !" aku mencoba melepaskan diri dari genggaman anak buah itu namun apa daya aku tidak bisa melarikan diri. Ia membawaku ke dalam kapal dan mengikat tangan dan kakiku, banyak sekali anak-anak ditempat ini mereka hanya menunduk ketakutan dan tidak berani melawan, mulut mereka terdekap dengan lakban yang membuat mereka tidak bisa berbicara "Hei manis, berani sekali ya kau menghinaku didepan anak buah dan para budak itu !" kapten itu memegang pipiku dan sangat menyakitkan sekali, ia memandangku dengan mata besarnya. "Lepaskan gadis itu !" Teriak seorang pria separuh baya yang ingin membelaku. "Berani kau padaku ?!" Sahut sang kapten. "Gadis itu masih kecil, lepaskan dia !" pria separuh baya itu terus berusaha agar dapat menyelamatkan ku walaupun kaki dan tangannya terpasung pada sebuah kayu besar. Aku menatap matanya, namun ada sesuatu yang aneh pada hatiku, aku merasa memiliki ikatan yang sangat kuat pada pria itu. "Habisi pria ini !" perintah kapten pada salah satu anak buahnya untuk membunuh pria separuh baya itu. "Tidaaaak !! Jangaaaaan !!" aku berteriak dan menangis sekeras mungkin agar pria itu tidak dibunuh. "Kau kenal dia gadis kecil ?" tanya anak buah yang ingin membunuh pria separuh baya. "Tidak ! Tapi aku mohon jangan sakiti dia !!" aku berteriak dan memohon, terus memohon. "Baiklah, jangan bunuh dia" Ucap kapten kepada anak buahnya. "Terima kasih kapten kau memang baik, kau ini sebenarnya pria yang baik, tapi mengapa kau menjadi orang jahat ? Tidakkah kau tahu bagaimana perasaanmu jika seandainya istri dan anakmu berada disituasi seperti ini ?" ucapku lembut dan membujuk kapten perampok tersebut. "Jangan dengarkan dia bos !!" ucap anak buah yang geram saat mendengar bujukanku pada kaptennya. "Diam lah !" bentak sang kapten. Namun anak buahnya tidak terima oleh perlakuan bosnya yang tidak percaya olehnya, ia pun mengayunkan pedang panjang dan berkilau itu ke arahku. "Tidaaaakkk" Aku berteriak sekeras mungkin, semua mata tertuju padaku. "Jangaaaan !! Aaaaa" suara anak laki-laki yang keras dan melemah, ia pun terjatuh tak berdaya karena tertusuk pedang anak buah itu. Aku pun membalikkan badan anak laki-laki itu "Dioooooooooooo.. Dioooooooooooo" aku berteriak dan tidak percaya bahwa anak laki-laki yang tertusuk itu adalah Dio, aku tidak dapat menahan air mata, aku memeluknya dan menangisinya tapi tubuh itu tidak lagi bergerak. "Dia anakku ! Kau membunuhnya " sang kapten tak sengaja melihat tanda lahir Dio yang berada di belakang telinga, ia menyadari bahwa Dio adalah anaknya. "Apa maksudmu ?" aku bertanya dan benar-benar kaget lebih tepatnya terluka. "Aku kehilangan anak laki-lakiku sebelas tahun yang lalu dan ia memiliki tanda seperti anak ini" Kapten itu mulai melemah dan memeluk erat tubuh anaknya yang sudah terbujur kaku. "Kau ??!!" Kapten itu menatap anak buahnya dan menusuk tubuh anak buahnya sampai terjatuh dan tak bernyawa. Aku pun tak sadarkan diri. "Bangunlah nak" ucap sang kapten yang mencoba membangunkanku.
Aku berjalan di pesisir pantai yang sangat indah, dan aku melihat sosok Dio disana. "Vella kamu sudah janji sama aku kalau kamu sudah besar nanti kamu ingin menjadi guru untuk desa kita" ucap Dio yang tersenyum padaku "Iya Dio aku pasti akan bersungguh-sungguh biar cita-citaku tercapai" jawabku. "Vella, semua cita-citaku untuk bertemu orang tuaku sudah tercapai, sekarang saatnya aku pergi" ucap Dio yang mulai berjalan meninggalkanku "Kau mau kemana Dio? Kau mau kemana ?" aku berteriak dan berlari mengejarnya namun tubuh itu menghilang secara perlahan. "Dioooooooo!! Dioooooo !!" aku berteriak keras dan tersadar dalam ingatanku. "Dimana Dio ?!" tanyaku, "Sabarlah nak" Ucap pria separuh baya itu. Aku menangis dan terus menangis, aku tidak percaya telah kehilangan sahabat terbaikku. "Kau jahat Kapten, kau jahat !" aku berlari dan menghina kapten itu ditempat duduknya. "Maafkan aku gadis kecil" jawab sang kapten yang menundukkan kepalanya dan meminta maaf. "Apa katamu ?? Kau sudah membunuh banyak jiwa, kau menghancurkan desaku ! Kau jahat !" aku berteriak dan meneteskan air mata karena tidak kuat menahan segalanya. Sang kapten menuruni anak tangga kapal dan berjalan menuju pesisir "Aku hentikan semua ini, aku meminta maaf" ia berlalu meninggalkan pesisir dan menaiki kapalnya, para tawanan pun terlihat sedang keluar pintu termasuk aku dan pria separuh baya. Kapal itu melepaskan tali dan menaikan jangkarnya lalu pergi berlayar meninggalkan pulau kami tercinta. "Siapa namamu nak ?" tanya pria separuh baya. "Aku Vella, Kavella." ucapku. "Apa kau Kavella ? Apa ibu mu bernama Raflenia ?" tanyanya yang terlihat kaget mendengar ucapanku. "Ya, ada apa ?" jawabku yang menatap pasir-pasir dibawah kakiku. "Hmm Syukurlah.." pria itu memeluk tubuhku dan mencium pipiku. "kenapa ini ?" tanyaku heran, "Kau adalah anakku, kau putriku !" Ucap Pria separuh baya itu. "Apa kau adalah ayahku ?" aku terkejut dan membalas pelukannya, aku benar-benar sangat bahagia. Ayahku tidak meninggal, saat kapal ayahku terpontang-panting ayahku diselamatkan oleh kawanan perampok itu untuk dijadikan budak namun setelah memberi keterangan diri ia malah ditangkap dan disandera. "Luxio ?" Ibuku terkejut bahagia saat melihat ayahku menggandeng tangaku. "Raflenia ?" ayah ku membalas panggilan ibuku. Mereka pun berpelukkan dan saling melepas rindu. Kami semua hidup bahagia tanpa tekanan dari perampok, dan dapat menikmati hidup seutuhnya.
***
Keesokkannya matahari kembali tersenyum dan turut bahagia para warga dapat menjalani kegiatan seperti biasanya, para ayah bergotong royong memperbaiki keadaan desa. "Hati-hati ya sayang" ucap ayah dan ibuku saat aku akan menaiki kapal untuk pergi ke kota dan bersekolah disana sampai selesai. "Iya bu, terima kasih" jawabku dengan memeluk ibu dan ayah, aku pun berpamitan untuk menuntut ilmu. Kapal yang membawaku ke kota berjalan meninggalkan pulau yang indah dan menyimpan kenangan itu.
Keesokkannya matahari kembali tersenyum dan turut bahagia para warga dapat menjalani kegiatan seperti biasanya, para ayah bergotong royong memperbaiki keadaan desa. "Hati-hati ya sayang" ucap ayah dan ibuku saat aku akan menaiki kapal untuk pergi ke kota dan bersekolah disana sampai selesai. "Iya bu, terima kasih" jawabku dengan memeluk ibu dan ayah, aku pun berpamitan untuk menuntut ilmu. Kapal yang membawaku ke kota berjalan meninggalkan pulau yang indah dan menyimpan kenangan itu.
--- Sebelas tahun kemudian –
"Akhirnya aku tiba kembali di pulau ini Ibu, ayah, aku pulang" ucapku yang tak sabar ingin bertemu kedua orang tuaku. "Sayang, apa kabar ?" ujar ibuku saat membukakan pintu rumah dan langsung memeluk tubuhku, kemudian disambut dengan ayahku. Aku pun membangun sekolah dan menjadi guru di desa ini, karena bagiku pendidikan adalah segalanya. Membaca, menulis, dan menghitung ku ajarkan pada anak-anak didesaku agar mereka tumbuh menjadi anak yang pinta dan memiliki normal tinggi, tentu saja tujuanku adalah agar kami tidak dianggap orang bodoh dan diperbudak, dari anak-anak sampai dewasa mereka semua menghargaiku dan mencoba berlatih untuk belajar. Aku selalu menanamkan pada mereka bahwa tidak ada kata terlambat dalam belajar, mencari ilmu itu tidak akan pernah ada batasannya. Dan tibalah untuk kami semua untuk hidup bahagia.
Bintang terang itu sahabatku,
cahayamu selalu menyinariku,
kau berkedap kedip mengiringi langkahku,
kaupun setia memancarkannya untukku..
Bintan-bintang dilangit dengarkan aku,
sampaikanlah rasa sayangku untuknya,
kau bagai jembatan hati,
tak ada satupun yang dapat menggantikanmu..
Bintang-bintang dilangit perlu kau tahu,
kau tiada tara, kau dambaan..
Kau ku kenang, kau ku jaga,
karena engkaulah sahabatku..
"Sahabat kecilku, aku mencintaimu hingga ajalku...."
-- The End –